
Pulau Bali, yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia, menghadapi tantangan krusial dalam memenuhi kebutuhan energi listriknya yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan ekonomi. Namun, ketergantungan terhadap energi fosil menimbulkan kekhawatiran serius terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dan dampaknya terhadap lingkungan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Luthfi Fathur Rahman, mahasiswa Teknologi Rekayasa Elektro angkatan 2021, melakukan penelitian berjudul “Perencanaan Pengembangan Pembangkit Sistem Bali Tahun 2025–2045 Menggunakan LEAP dengan Mempertimbangkan Energi Baru Terbarukan dan Interkoneksi.” Penelitian ini bertujuan untuk merancang strategi pengembangan sistem pembangkit listrik di Provinsi Bali agar mampu mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2045—lebih cepat dari target nasional tahun 2060.
Melalui studi yang dilakukan menggunakan perangkat lunak LEAP (Low Emissions Analysis Platform), penelitian ini mengevaluasi tiga skenario utama, yaitu Business as Usual (BAU), Clean Energy, dan Isolated. Skenario BAU mengikuti kebijakan RUPTL 2025–2034, skenario Clean Energy menerapkan mitigasi emisi dengan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) pada PLTU dan PLTGU, sedangkan skenario Isolated menggambarkan sistem tanpa interkoneksi dengan sistem Jawa.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa kebutuhan energi listrik di Bali meningkat rata-rata 7% per tahun. Dari sisi keandalan, skenario Business as Usual (BAU) dan Clean Energy menunjukkan performa lebih baik dibandingkan Isolated, yang mengalami penurunan reserve margin akibat pemutusan interkoneksi di tahun pertama.
Hingga tahun 2045, bauran energi pada skenario BAU dan Clean Energy didominasi oleh sistem interkoneksi Jawa Bali Connection (JBC), sedangkan skenario Isolated cenderung bergantung pada pembangkit fosil meskipun memiliki porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang lebih besar. Menariknya, skenario Isolated justru menghasilkan emisi CO₂ tertinggi karena dominasi pembangkit fosil, sementara skenario Clean Energy menjadi yang paling efektif dalam menurunkan emisi dan mendukung target Net Zero Emissions (NZE) 2045, meski dengan biaya produksi yang lebih besar.
Penelitian ini turut mendukung pencapaian SDG 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), serta SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim). Integrasi EBT dan penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) mencerminkan langkah inovatif menuju sistem energi yang modern, andal, dan berkelanjutan.
Oleh: Luthfi Fathur Rahman [21/477806/SV/19214]
Pembimbing: Ir. Ahmad Adhiim Muthahhari, S.T., M.Eng.